Adasebuah legenda turun temurun yang mengisahkan awal mula terbentuknya danau tersebut, yakni Legenda Rawa Pening. Kisahnya dahulu kala terdapat sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Di desa tersebut bermukin sepasang suami-istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta.
CeritaLegenda Rawa Pening Dahulu kala, Tersebutlah sebuah desa bernama Ngasem yang berada di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat.
CeritaLegenda Rawa Pening. Legenda Rawa Pening berawal dari sebuah desa yang bernama Desa Ngasem, terletak di kaki Gunung Telomoyo. Baca juga: Rute ke Gunung Gajah Telomoyo, Salah Satu Spot Melihat Rawa Pening. Desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang arif dan bijaksana yang bernama Ki Sela Gondang.
Tapisiapa sangka, selepas tercabutnya lidi dari tanah, tiba-tiba saja dari dalam tanah bermuncratan air dalam jumlah banyak hingga menenggelamkan desa Malwapati yang sekarang menjadi area danau Rawa Pening. Meski hanya sebuah cerita masa lalu yang belum pasti kebenarannya, namun legenda di atas sampai saat ini masih dipercaya sebagian masyarakat.
Baruklinting adalah seekor naga anak dari Endang sawitri adan seorang kepala desa di ngasem di bawah kaki buit Telomoyo, untuk berubah maka Baru klinting harus bertapa dan melilitkan tubuhnya di Gunung Telomoyo, pada waktu besemadi inilah beberapa penduduk desa tidak mengetahui bahwa apa yang mereka temukan adalah ekor dari baru klinting dan mereka memotong dan memakannya bersama-sama daging tersebut.
Site De Rencontre Pour Parent Seul. The Origin Of Story Indonesian Version Legenda Rawa Pening Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah. Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya. “Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar. Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya. “Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut. “Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya. “Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.” Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang. “Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi. Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya. Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga. Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng. Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga. Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya. “Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos. Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta. “Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu. “Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.” Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu. “Hai, siapa itu?” tanya pertapa. “Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting. Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara. “Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran. “Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?” “Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran. Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar. Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.” “Baik,” jawab Baru Klinthing. Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun bersih desa, yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur. Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta. Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya. “Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.” Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung. “Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung. “Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.” Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat. “Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.” “Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung. “Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu lumpang alat menumbuk padi!” Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah. “Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing. Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut. “Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing. Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening. Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening. The Origin Of Story English Version The Legend of Rawa Pening Once upon a time in old Java there was a village. Pening was its name. Pening was a prosperous village. The land was fertile and the weather was always good all year round. It was on the slope of Mount Merbabu so the climate was cool. People made their living by cultivating rice, vegetables and fruits. The harvest was always satisfying. So all of them lived a happy life. That’s why once a year they held a ceremony called Bersih desa’. It was a kind of thanks giving day. It was a day when they express their thankfulness to God for a successful harvest. They would clean their village and then they would pray together. At night they would have a dinner together and held teater performances. One day after a succesful harvest they would celebrate it. That time they wanted something special. They wanted more meat for dinner. So they went hunting in a wood. Just outside of the village there was a wood where there were many animals like deer, buffalo, mouse deer, lamb and many other. But that day there was no animal at all. Animals were nowhere to be seen. They had searched every inch of the wood but still their effort were in vain. When it was almost dark, they were very tired so they took a rest. They sat on something that look like a rock and a big root. Everybody was silent because they were exhausted and disappointed. Then suddenly someone chopped the big root with his sword to relief his disappointment. Amazingly there was blood coming out of the root. They were surprised. Someone tried to chop it deeper. He found meat ! So they chopped more and more. After their bags were full of meat they were satisfied. Then they went home happily. That night the people of Pening were preparing a big dinner. They wanted a special dinner with the meat they got from the wood. Just as they were preparing dinner, a boy came to the village. He looked poor. He begged food to some people. But they refused. Someone said We are preparing dinner. You may come to our dinner tonight. But not now’. But I am very hungry, please’. Just come here tonight’. But then there was an old widow who took care of him. She was just a poor widow. She gave him food and shelter. You may take a rest here. Join us tonight for dinner’. Thank you very much. You are very kind to me. You are the only one who helped me. That’s why I will save you. Tonight there will be a great event here’. Yes, there will be a great party’. No, I mean something special’ What do you mean?’ I cannot say now. But listen to me. Prepare a boat for you’ Why? What will happen?’ Just do as I say’ Please tell me what will happen?’ OK, you are very kind to me so I will tell you but please promise me you won’t tell anyone’. OK, I promise’ I am Naga Baru Klinting. I am a dragon. I was meditating in the slope of Mount Merbabu when your people hurt me. They hurt me by chopping my body. Now they are preparing dinner with meat from my body. So I will take my revenge tonight, but I will save you. Prepare a boat for you’. Oh, please don’t do that. Forgive my people’ Whatever will be , will be. Good bye’. Then the boy left. Just before the dinner began at the village hall some boys were playing in the yard. Suddenly a boy came to them. Hi guys a have a game for you’ Then he held a small bamboo and attached it to the ground. If you can pull it, I will give you a special present’ Oh, that’s very easy’, a boy said. He tried to pull it but it was very strong so he could not pull it. Another boy tried but he also failed. Everybody failed. Then this game drew adult’s attention. One by one they tried to pull but all of them could not make it. When many people gathered then the boy said. O people of Pening. I am Naga Baru Klinting. I am a dragon. I was meditating in the slope of mount Merbabu when you chopped me. Now I will take my revenge. Enjoy your party’. Then he pulled the bamboo. Amazingly, water poured from the ground. The water immediately flooded the village. Finally the whole village sank under water. They were all drowned and died in the lake. There was only one survivor. The poor old widow. She had prepared a simple boat so she could survive. Since then on the lake is called Rawa Pening. Rawa means lake in Javanese and Indonesian language. Today the lake is located in the province of central Java, Indonesia. The Improved Story / Script The Legend of Rawa Pening Once upon a time in a valley between Merbabu and Telomoyo mount there was a village namely Ngasem. A couple namely Ki Hajar and Nyai Selakanta that were wellknown, humble and kind were very pleased to villager. But, they didn’t have children. One day, Nyai Selakanta sat in front of her house, suddenly Ki Hajar came along and sat beside her. Ki Hajar “Why do you look so sad? What do you think?” Nyi Selakanta “Nothing. I just feel lonely even less you’re gone. It may feel less lonely if we have a child.” Ki Hajar “Why do you think like that?” Nyi Selakanta “We have been married for long time, but we still don’t have a child.” Ki Hajar “Don’t worry, there will be a time.” Nyi Selakanta “But when? What’s wrong with me? Did I make a fault?” Ki Hajar “Don’t say like that. There’s no matter with you. We just have to be patient.” Nyi Selakanta “Okay, I’ll try my best.” Ki Hajar “Okay, If you really want to have a child, let me go meditating to God.” Nyi Selakanta “Do you mean that you will leave me? Really?” Ki Hajar “No, it wil not take so long.” Nyi Selakanta “Okay, Promise me you’ll be fine and be back soon. I’ll miss you.” Ki Hajar “I promise you. I’ll miss you too.” Nyai Selakanta permitted her husband request. Next day, he went to Tolomoyo mountain and Nyai Selakanta lived with lonelyness. She had been waiting for months but he hadn’t come back. She felt worried about her husband. One day, she felt something wrong with her body, her stomach hurt. She tought that she was pregnant, and her asumtion was right. Nyi Selakanta “What’s wrong with my body? Why my stomach getting bigger? Am I pregnant? Really? Thank you God! Oh Dear where are you? Are you alright? I have a good news for you. Go home quickly.” Day by day passed, her stomach was getting bigger and she gave a birth. But she was shocked, because it was not a baby it was a dragon. Nyi Selakanta “Oh My God! Why am I giving birth to be a dragon? Why am not I giving birth to be a regular human? It will be okay baby. I’ll take care of you until you grow up and then you can go to Telomoyo mount. I’m sorry baby, but it’s the best way for us. Start now, all people will know that you’re Baru Klinthing.” She call it Baru Klinting’ which taken from her husband’s spear. Surprisigly, even though he was a dragon, he could speak like a human. Nyai Selakanta felt dissapointed, she would be feeling ashamed if villagers knew that she gave a birth to a dragon. She thought that the best way for Baru Klinting was isolating himself at Tugur hill. But before that, she had to take care of him in order to go to Telomoyo mountain. Baru Klinting had grown up to be a teenager and he asked about her father. Baru Klinting dragon “Mom, Do I have a father?” Nyi Selakanta “Yes my son. Your father namely Ki Hajar. But until now, he is still in Telomoyo mountain to meditate. You can go to him and said to him that you are his son.” Baru Klinting dragon “But, will he believe me? I’ve never met him.” Nyi Selakanta “Don’t worry son. Bring this Baru Klinting spear for a proof.” Baru Klinting “Thank you mom. Good bye.” Nyi Selakanta “Take care of yourself.” After he had taken permission from his mother, He went to Telomoyo Mountain. When he arrived, he went into the cave and met a man who meditated for very long day. It seemed that Baru Klinting disturbed that man. Ki Hajar “Who’s there?” Baru Klinting dragon “Sorry sir, I don’t mean to disturb you.” Ki Hajar “Who are you? And how can you talk like a human?” Baru Klinting dragon “My name is Baru Klinting. Is it the place where Ki Hajar meditate?” Ki Hajar “Yes. How can you know my name? Who are you?” Baru Klinting dragon “I’m Baru Klinting. I’m your son, sir.” Ki Hajar “Don’t lie to me!” Baru Klinthing dragon “No sir, I’m the son of Nyi Selakanta.” Ki Hajar “How can I believe you?” Baru Klinting dragon “I have a proof. This Baru Klinting spear is yours.” Hearing the answer, Baru Klinthing immadiately worshiped in front of his father. Then, he explained who he is. Iniatilly, Ki Hajar didn’t believe if he had a child in the form of a dragon. When the dragon showed Baru Klinthing’s spear to him, Ki Hajar began to believe it. However, he was not yet fully convinced. Ki Hajar “Okay, I believe that Baru Klinting’s spare is mine. But, however that proof isn’t enough. If you’re really my son, you have to turn around the Telomoyo Mount.” Ki Hajar “Go meditate in Tubur hill, one day your body will be changed to a human.” Baru Klinting dragon “Okay father.” In Tubur Hill Another time, there was a village called Pathok. This village was very prosperous, but unfortunately the villagers were very arrogant. Once, the people of pathok village intended to clean village, which was a charity after the harvest. To enlive the party, will be held a variety of art and dance performances. Various delicacies would be served as a joint meal and banquet for inviting guests. For this reason the villagers hunted animals in Bukit Tugur. Villager 1 “Tomorrow, our village will hold a party, don’t you remember?” Villager 2 “Of course, what should we probably do?” Villager 3 “Mmm... how about hunting animal in forest?” Villager 2 “It’s a great idea! All people will be great about it.” They had been hunting for most of the day, but not a single animal had been caught. When they were about to return to the village, suddenly they saw a meditating dragon. This dragon was Baru Klinthing. Villager 1 “Look at that! What’s that?” Villager 2 “It looks like a dragon, Right?” Villager 3 “Hmm the dragon . How if we catch that dragon?” Villager 2 “It must be delicious.” Villager 3 “Hmm, come on! Let’s catch that!” The villagers walked slowly to the dragon, but suddenly one of the villager steped on wood Villager 3 “Oh God! You must be careful!” Baru Klinthing shocked hearing broken brances. He woke from his meditation and he was shocked either when he knew all villagers would capture him. Baru klinthing was panic and ran away. The villagers knew it and all of them ran to catch him. Baru Klinting dragon “Oh My God. They will catch me. I have to run!” Villager 1 “Hey dragon!” Villager 2 “Come here!” Villager 3 “Don’t run!” In Pathok Village 1 In Party Next day, when the villagers were busy partying, there came a boy whose body was covered with wounds that caused a fishy smell. Apparently, the boy was the reincarnation of Baru Klinting. Because he was hungry, baru klinting joined in the crowd. When he asked for food to the people, no one wanted to give. They cursed him, even threw him out. B klinthing little boy “Help me! Help me!” Villager 2 “Yeah, we are so lucky cause we got this special dragon Villager 1 “It is very very yummy!’’ Villager 3 “Hmm.. it is so delicious!” Villager 2 “Uhk... uhk... where is the drink?” Villager 1 “Eat slowly, dude.” Villagers “Hahahahahaha” Villager 3 “Hey, look at him! Ewh, he is so disgusting.” B. Klinting little boy “Please, give me some food. I’m very hungry.” Villager 1 “Hi beggar! Get out from here!” Villager 2 “You smell very disgusting.” Villager 3 “Just go and don’t come back, hush.. hush!” B. Klinthing little boy “But, I am so hungry. Please, help me.” Villagers “Shut up! Get out from here!” In Pathok Village 2 On The Way What a misfortune Baru Klinting fate. With a stomach growled, he staggered to leave the village. Not so far from where Baru klinting was there, there was an old widow who cried caused the way the villagers treated her was so awful. Nyi Latung “Oh God! Why am I so unlucky? Why did they treat me like an enemy? I always do good things to them. But, they always disrespect me and expel me. What’s wrong with me, God?” Few minutes later, there was a boy who passed over the old widow’s house. The old widow asked to the boy. Nyi Latung “What’s that? It looks like a boy, but why does he have a lot of wound? Oh, poor him. He may have a bad destiny like me. Hey, what’s your name?” B. Klinthing little boy “My name is Baru Klinthing.” Nyi Latung “Why don’t you join in the party?” B. Klinting little boy “I’m so sad. Everybody doesn’t want me to be in that party. They feel disgusted to my body. Whereas, I’m so hungry.” Nyi Latung “Sorry for that. How if you come to my house. I’ll give you some food.” B. Klinthing little boy “Really?” Nyi Latung “Sure, boy. Come on!” In Nyi Latung’s House B. Klinting little boy “Thank you Nyi Latung. Apparently there is still a kind person in this village.” Nyi Latung “Yes of course. All people here are greedy. They don’t ever invite me to that party. They feel disgusted with my body.” B. Klinthing little boy “Pardon?” Nyi Latung “Yes. They always isolate me. They don’t want to be my friend.” Baru klinting was so angry, and he had planned to take a revenge to the villager B. Klinting little boy “So, it’s time to take revenge.” Nyi Latung “Do you think it’s the best way to give a lesson for them?” B. Klinthing little boy “Absolutely yes. If you hear something clamorous sound prepare a raft soon.” Nyi Latung “Okay I’ll do what you want.” In Pathok Village 3 In Party Baru klinting went back to the party with carrying a wood. Arriving in the crowd, he embed the wood into the ground. B. Klinting little boy “Hey all of you! If you think you are strong, pull of that wood that I have embed.” Feeling underestimated, the villagers were busy trying to pull out the wood. Villager 1 “Hey you awful boy, don’t be so arrogant. Even he is a little boy, he can pull this off just two fingers indeed. Hey you, come on! Can you pull this wood out?” Villager 2 “Hah, really? I can pull this wood out so easily with closed eyes.” Villager 1 ”Okay, prove it!” Then, He tried to pull that wood out. Villager 2 “I’m sorry, I can’t pull this off. What’s wrong with this wood?” Villager 1 “Oh, God. Okay you young man, can you pull this off?” Villager 3 “Oh My God it’s very heavy, I can’t pull this off.” Villager 1 ”Hah. How can? Hey, all men! Come here and pull this wood off from this earth.” Villagers “I’m sorry I can’t.” Villager 1 “How can you? Oh My God you’re useless. You can’t ever pull the wood from the earth.” Villager 1 “Look at me! Look at how easily I can pull this off!” Villager 1 “Oh My God! How can? What did you do with this wood? You’re cheaters.” B. Klinting little boy “I’m not cheating. You’re just useless.” Villager 2 “How dare you say like that to us!” B. Klinting little boy “You’re greedy you’re arrogant and you never appreciate others as well.” Villager 3 “Hey boy, how dare you! Shup up!” B. Klinting little boy “You’re such an evil. Now you’re about to feel what I am feeling right now.” Baru klinting immediately pulled the wood. Because of his magic, he was able to pull out the wood easily. As soon as the wood was uprooted, the roar rumbled the entire village. A moments later, water gushed out from the wood. The longer the bursts of water was getting bigger so there’s a big flood. Villager 1 “Oh why is the ground shaking?” Villager 3 “What has he done?” Villager 2 “Oh no.....! It started flooding!” Villager 1 “We have to run! Run! Run!” Villager 2 “Save your life! Run!” All the people in the fog were going to save their lives. However, their efforts were too late because the flood has drowned them. Instantly, the village was turned into a swamp or a lake, now it’s known as Rawa Pening. Villager 2 “Hey a little boy, help me!” Meanwhile, after pulling the wood, baru klinting immediately ran to meet Nyi serves as a boat. Nyi Latung “Oh son. How about them?” B. Klinting little boy “Don’t care about them.” Nyi Latung “Isn’t this too bad?” B. Klinting little boy “No, they deserve to get that.” Nyi Latung “Alright. You are my grand child for now on.” So, he and Nyi Latung were safe. After the event, Baru Klinting became a dragon to guard the Rawa Pening. Moral Value The moral value that can be taken from the story above is the pride, arrogance, and disrespect of others are dishonorable character. We have to help others without seeing social life, religion, and physical appearance.
Dongeng anak adalah cerita fiksi, cerita rekaan, cerita khayalan, atau cerita yang tidak benar-benar terjadi di dunia nyata, yang diperuntukkan bagi anak-anak. Dongeng juga disebut sebagai cerita rakyat tradisional yang diceritakan secara lisan, turun temurun, dan bertujuan untuk menghibur dan menanamkan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral di dalam dongeng biasa disampaikan melalui tokoh-tokoh di dalam dongeng. Tokoh itu sendiri bisa manusia, bisa juga binatang fabel Baca Pengertian tokoh dan jenis-jenis tokoh di dalam cerita Dongeng bisa disampaikan sebagai cerita sebelum tidur. Dengan mendengarkan dongeng sebelum tidur, anak akan berlatih berimajinasi. Selain itu, penamanan karakter dan nilai-nilai moral akan terbangun dan terbentuk dengan lebih baik. Nah, dalam kesempatan ini, kami akan mengisahkan tentang Legenda Rawa Pening. Legenda adalah salah satu bentuk dongeng, yang biasanya diartikan sebagai cerita rakyat zaman dahulu yang berkaitan dengan peristiwa atau asal usul terjadinya suatu tempat. Legenda Rawa Pening adalah cerita rakyat Jawa Tengah yang menceritakan tentang terjadinya Danau Rawa Pening yang terdapat di Kabupaten Semarang, dan diapit oleh tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Banyubiru, dan Kecamatan Tuntang. Berikut ini adalah Cerita Legenda Rawa Pening secara ringkas, dalam sebuah versi anak-anak. Baca Juga dongeng-dongeng berikut ini Dongeng Anak - Ada maksud di balik kebohongan Dongeng Anak - Kisah Putri Buruk Rupa Bagai Bumi Berhenti Berputar - Clara Ng Dongeng Anak Legenda Rawa Pening [Jihan - Siswi SD Labschool Unnes berlatih mendongeng Legenda Rawa Pening - klik untuk memutar video] Pada zaman dahulu, di Desa Ngasem, hiduplah seorang perempuan dengan seorang anak. Anak itu bernama Baru Klinting. Baru Klinting tidak berwujud manusia, namun berwujud ular. Meskipun begitu, Baru Klinting dapat berbicara layaknya manusia. Suatu hari ketika Baru Klinting telah beranjak dewasa, ia bertanya kepada Ibunya. "Ibu, siapakah Ayahku dan dimanakah ia sekarang?" Ibunya tersentak karena tidak biasanya Baru Klinting bertanya seperti itu. Ia kemudian menjawab, "Ayahmu bernama Ki Hajar Salokantara. Ia sedang bertapa di Lereng Gunung Telomoyo. Pergilah dan temuilah Ayahmu, Baru Klinting." Mendengar penjelasan Ibunya, Baru Klinting merasa sedikit ragu. Bagaimana bila nanti Ayahnya tidak mau mengakuinya sebagai anak? "Bagaimana aku bisa meyakinkan Ayah, bahwa aku memang benar-benar anaknya?" "Bawalah lonceng klintingan ini, sebagai bukti bahwa kau memang putera Ki Hajar Salokantara!" jawab Ibunya. Baru Klinting pun meminta restu kepada Ibunya untuk pergi menemui Ki Hajar Salokantara. Hingga tibalah Baru Klinting di Lereng Gunung Telomoyo. Ia sampai di depan goa tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara. Baru Klinting memperkenalkan dirinya dan menceritakan maksud kedatangannya, sambil memperlihatkan klintingan lonceng pemberian Ibunya. Ki Hajar Salokantara mengamati dengan seksama lonceng tersebut. Dia mengakui bahwa lonceng itu memang miliknya, yang dia berikan kepada istrinya dahulu sebelum pergi bertapa. Namun, Ki Hajar ingin meminta satu bukti lagi kepada Baru Klinting bila ingin diakui sebagai puteranya. "Baiklah, bila kau memang benar-benar puteraku, lingkarilah Gunung Telomoyo ini selama satu tahun, dan kau akan berubah wujud menjadi seorang manusia!" "Baiklah, Ayah," jawab Baru Klinting. Kemudian, Baru Klinting pun mulai mengitari Gunung Telomoyo. Baru Klinting sangat bersungguh-sungguh akan tekadnya, sehingga lama kelamaan tubuhnya tertutupi oleh belukar, lumut, dan tanah. Hingga pada suatu hari, penduduk desa ingin mengadakan hajat/pesta. Penduduk desa pergi ke hutan dan gunung untuk mencari hewan buruan. Namun, lama sekali mereka tidak mendapatkannya. Mereka lelah dan duduk-duduk di atas belukar. Salah seorang penduduk desa kemudian menancapkan pedangnya ke sebatang akar pohon. Dia terkejut ketika akar pohon tersebut mengeluarkan darah segar yang berbau amis. Dia lebih terkejut sekaligus gembira, karena yang dikiranya sebagai akar pohon tadi ternyata adalah tubuh seekor ular besar. Penduduk desa pun bersorak sorai kerana mendapatkan daging ular besar. Mereka memotong-motongnya untuk digunakan sebagai hidangan pesta. Ketika penduduk desa tengah berpesta, datanglah seorang anak kecil kurus yang penuh luka, dengan pakaian compang-camping, dan badannya sangat amis seperti bau seekor ular. Anak kecil itu adalah penjelmaan dari ular Baru Klinting yang telah dipotong-potong tubuhnya oleh penduduk desa. Baru Klinting yang kini telah berwujud anak kecil, merasakan perutnya sangat lapar dan ia bermaksud meminta sedikit makanan kepada penduduk desa. Sayangnya, penduduk desa itu sangat angkuh, kikir, dan tidak memiliki belas kasihan kepada Baru Klinting. Ketika Baru Klinting datang mendekat, mereka mengusirnya dengan kasar, memaki-makinya, bahkan menendangnya. Baru Klinting sangat sedih. Dia terus berjalan sambil menangis, hingga tibala dia di sebuah gubug tua yang ditinggali oleh seorang nenek tua. "Anak kecil, mengapa kau bersedih? Pergilah ke pesta, di sana banyak sekali makanan lezat!" kata nenek tua itu kepada Baru Klinting. "Aku dari sana, Nek. Namun, tak seorang pun yang memberiku makanan, bahkan mereka mengusirku karena jijik melihat tubuhku yang penuh luka koreng dan bau tubuhku sangat amis," ucap Baru Klinting dengan memelas. Nenek tua itu pun memberi Baru Klinting sedikit daging yang dimilikinya. Nenek itu hanya mendapatkan jatah sedikit daging, karena dia sudah tua dan tak hadir di pesta. "Terima kasih, Nek. Sungguh aku tidak bisa membalas kebaikanmu," ucap Baru Klinting. Sebelum Baru Klinting pergi, dia berpesan kepada Nenek tua tersebut. "Nek, apabila nanti nenek mendengar suara gemuruh, itu adalah tanda akan datang banjir besar. Segeralah Nenek menaiki lesung ini, Nenek akan selamat." Nenek tua itu keheranan mendengar pesan Baru Klinting. Akan tetapi ia mengangguk dan mengiyakan pesan Baru Klinting tersebut. Adapun Baru Klinting, dia kembali ke tengah-tengah pesta. Dia menancapkan sebatang lidi, dan berteriak memberikan pengumuman kepada penduduk desa. "Wahai kalian yang merasa hebat, aku datang ke sini untuk menantang kalian. Jika kalian bisa mencabut lidi ini, potonglah leherku!" Penduduk desa tertawa mendengar tantangan Baru Klinting. Mereka menyuruh anak-anak untuk mencabut lidi tersebut. Namun, anehnya, tak satupun berhasil mencabutnya. Kemudian, orang-orang dewasa pun maju untuk mencoba tantangan tersebut! Satu dua orang gagal, hingga mereka berusaha mencabut lidi itu beramai-ramai. Gagal. Baru Klinting kemudian membentak mereka. "Dasar kalian payah! Dengarlah, aku adalah ular besar yang telah kalian potong dan lalu kalian makan di pesta! Namun, ketika aku datang dan meminta sedikit saja daging itu, kalian malah mengusirku karena wujudku yang seperti ini! Sekarang, aku datang dan akan menghukum kalian semua!" Warga desa menyadari kekeliruannya, namun sudah terlambat. Bersamaan dengan itu, Baru Klinting telah mencabut lidi itu. Dari bekas lidi itu, terpancarlah air yang sangat deras disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati. Banjir besar datang. Seluruh desa beserta warga desa pun tenggelam. Hanya ada satu orang yang selamat, yaitu nenek tua yang telah menolong Baru Klinting. Genangan air yang luas itu masih ada sampai sekarang, yaitu Danau Rawa Pening. Adapun Baru Klinting, berubah wujud kembali menjadi seekor ular naga besar yang hidup di bawah Danau Rawa Pening. Naga besar itu kini menjadi penjaga Danau Rawa Pening. []
- Rawa Pening merupakan objek wisata berbentuk danau yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Letak spesifik Rawa Pening ada di antara Kecamatan Ambarawa, Banyu Biru, Tuntang dan Kecamatan Bawen. Kondisi geografis kawasan Rawa Pening adalah dataran tanah yang berbentuk cekungan di bawah lereng gunung Telomoyo, Ungaran, dan menawarkan keeksotisan alam nan indah, Rawa Pening juga menyimpan kisah yang melatarbelakangi munculnya danau itu. Legenda asal usul Rawa Pening pun dipercayai oleh sebagian orang Jawa Tengah. Baca juga Cerita Rakyat NTT tentang Asal Usul Nenek MoyangAsal Usul Rawa Pening Dikisahkan, di sebuah desa bernama Ngasem, hidup seorang perempuan berparas cantik bernama Endang Sawitri. Ia adalah perempuan yang menerima takdir hamil tanpa seorang suami. Lebih tepatnya, ia hamil atas kelalaiannya sendiri. Ayah Endang Sawitri adalah seorang kepala desa di Ngasem. Suatu ketika, sang ayah mengutus Endang Sawitri untuk mengambil pusaka di tempat sahabatnya yang bernama Ki Hajar Salokantara. Pusaka ini hendak digunakan dalam hajatan sedekah bumi di Desa Ngalem.
Watak Tokoh Dalam Cerita Rawa Pening. Kisah ini dari mulut kedua dan seterusnya. Air terus membesar dan terjadi Rakyat Rawa Pening » Greatnesia from kekurangan alat dapur, khususnya pisau. Rawa pening adalah danau alam di kabupaten semarang, jawa luas hektare ia menempati wilayah kecamatan ambarawa, bawen, tuntang, dan banyubiru. Pada saat itu ada seorang warga yang yang sedang mempunyai gawe atau Teks Yang Menunjukkan Sifat Seorang Tokoh Sebagai BerikutBeberapa di antaranya, yaitu endang sawitri, ki selo, ki salokantara, baru klinting, dan nyai latung. Keduanya terkenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh warga di sekitarnya. Berdasarkan cerita warga di pesisir rawa pening, danau alam itu terbentuk setelah seorang bocah bernama baro klinting mencabut lidi yang ditancapkannya di tengah hajatan pesta warga desa ”Aku”Menjadi Fokus Pusat Kesadaran, Pusat nilai moraletika dalam cerita rakyat ini terlihat dari tokoh utamanya yang mempunyai etika, sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara gunung merbabu, telomoyo, dan ungaran. Hal ini bisa dilihat dari awal Jahat Menyihir Anak Itu, Sehingga Tubuhnya Penuh Luka Dengan Bau Yang Sangat rakyat rawa paning terjadi pada tahun delapan saka atau delapan jawa. Baru klinting, sosok ular yang melegenda. Kesimpulannya, karakter tokoh bisa dilihat dariPada Zaman Dahulu, Hidup Seorang Wanita Bernama Endang Sawitri Yang Tinggal Di Desa tokoh utama pada cerita rawa pening tewas dengan cara yang tragis, namun tetap berperan hingga akhir cerita dengan wujud jelmaan seorang anak dan naga. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh karakter nenek yang. Anehnya, yang dilahirkan bukanlah bayi biasa, melainkan seekor Misteri Rawa Pening Dan zaman dahulu, hidup seorang wanita bernama endang sawitri yang tinggal di desa ngasem. Dikisahkan ada seorang perempuan bernama endang sawitri yang melahirkan seorang anak berwujud naga. Katalog dalam terbitan kdt wahyuni, tri legenda rawa pening/tri wahyuni.
Rawa Pening – Rawa Pening tentunya dapat dijadikan sebagai alternatif wisata alam ketika anda sedang berada di Semarang. Nah sama halnya seperti contoh cerita fantasi, tentunya ada cerita menarik lho dari keindahan tempat wisata ini. Untuk lebih jelasnya, berikut pembahasannya untuk anda. Biasanya setiap tempat wisata memiliki legenda atau sejarahnya di masa lalu. Nah untuk legenda Rawa Pening, tentunya beberapa masyarakat sekitar meyakini jika dulunya tempat ini pernah ada sebuah desa yang bernama desa Malwapati, yang ditinggali masyarakat yang lumayan banyak. Salah satunya adalah seorang lelaki yang bernama Baru Klintang. Masyarakat sekitar percaya bahwa ia mempunyai ilmu sakti mandraguna. Dituturkan jika Baru Klintang dulunya memperoleh perlakukan buruk dari masyarakat desa karena ia berbau dan bentuk tubuhnya yang ternyata berbeda. Ia pun tidak terima, kemudian ia mengadakan sayembara agar dapat mencabut lidi yang telah ditancapkan ke tanah. Namun hampir semua penduduk yang mengikuti sayembara tak ada satupun yang bisa mencabut lidi tersebut selain Baru klintang. Selain itu, siapa yang menyangka bahwa selepas tercabutnya lidi tersebut dari tanah, dari dalam tanah tiba-tiba saja bermuncratan air dengan jumlah yang banyak sampai menenggelamkan desa Malwapati, dan akhirnya saat ini menjadi area dari danau Rawa Pening. Walaupun hanya sebagai cerita masa lalu saja yang belum pasti akan kebenarannya, tetapi cerita legenda tersebut hingga kini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat juga percaya jika Baru Klintang ini masih hidup tetapi menjelma sebagai ular naga yang katanya hingga sekarang masih mendiami area Rawa Pening. Selain itu, hingga saat ini pun masih diadakannya ritual-ritual untuk penyerahan sesajen pada danau ini. Hal ini bertujuan supaya tidak menimbulkan bencana untuk masyarakat sekitar. Mengenai penamaan Rawa Pening ini sebenarnya mencerminkan keadaan atau kondisi danau yang airnya begitu jernih. “Rawa” sendiri adalah rawa atau danau. Untuk kata “Pening” sendiri adalah jernih, dengan begitu ketika disatukan dan diartikan adalah danau berair jernih. Keindahan Rawa Pening Tahukah anda bahwa salah satu daya tarik yang dimiliki oleh danau ini yaitu alamnya yang begitu tenang. Bahkan tidak hanya rawa saja yang dijadikan sebagai pesona andalan, namun kawasan sekitarnya pun dikelilingi oleh lanskap lahan pertanian yang hijau. Selain itu, dikarenakan lokasinya di sekitar pegunungan, sudah pasti suasana khas pegunungan bisa anda rasakan melalui kawasan rawa ini. Saat mendatanginya ketika cuaca sedang cerah, maka anda juga bisa melihat Gunung Merbabu dan Gunung Ungaran. Di tempat ini juga telah disiapkan dengan beberapa pilihan wahana yang dapat anda gunakan untuk menemani beraktifitas saat berada di sini. Nah, dengan beberapa keindahan dan wahana yang disediakan, yuk berlibur ke Rawa Pening. Rawa Pening Legenda dan Ceritanya yang Terkenal di seluruh Penjuru Nusantara
siapa saja tokoh dalam legenda rawa pening